Sunday, April 15, 2007

Berpisah Jua Kita Akhirnya

"Menyusur keramian sepanjang sisi kota.. Hanyut kita berdaua laju diatas roda.. Malam hangat memeluk melebur cinta kita.. Bias lampu menyapa getar hati bertanya... Adakah waktu tersisa menyanggah segala prasangka?
Dan lagu pun mengalun nanar kau pandang aku... Cinta kita terlarang membentur batu karang... Ketika norma peradatan terpilih sebagai alasan. Mereka ciptakan jurang antara kita..
Sampai akhir nanti.. Kita berusaha bertahan.. Sebab cinta datang untuk menolak perbedaan.. Oh adakah waktu tersisa menjaga kita tetap sejiwa?"


Syair lagu Katon Bagasakara mendayu-dayu di telinga Sheira. Ia baru saja menyelesaikan lipatan terakhir pakaian yang kini telah terkemas dalam sebuah koper besar berwarna merah. Sebuah tiket pesawat kelas ekonomi menuju Jakarta tergeletak tak beraturan di sisi kirinya. Sebentar lagi burung besi di luar sana akan segera membawa dirinya keluar dari peradaban kuno di pesisir Sumatera itu. Tepatnya di kota Deli, hiasan termashur wisata di Sumatera Bagian Utara.

Meski telah dirundung pahitnya berkasih sayang, Arqan, sang terkasih masih terus bermain di pikiran Sheira. Dicobanya mengusir bayangan itu. Sekali lagi gagal. Apa daya, ia hanya bisa tertunduk lesu memandangi pagi yang sebentar lagi pergi.
Ada tema besar yang menancap tegak di atas ubun-ubunnya saat ini. Apalagi kalau bukan perpisahan yang menyesakkan dada. Barangkali tidak akan begitu menyakitkan jika perpisahan ini barang satu atau dua tahun. Namun ini adalah perpisahannya saat berdiri di persimpangan di mana adat tidak lagi bisa dikompromikan. Selamanya ia harus pergi menjauh dari tambatan hati, demi tradisi pongah.

Aturan adat memang ada sejak Sheira belum terlahir ke dunia. Mungkin itu juga sebabnya ia hanya jadi penikmat aturan adat meski terkadang lakonnya tak jarang membosankan. Bahkan ketentuan adat itu bisa berwujud malaikat maut. Membunuh cinta setiap jiwa akan dunia.

Adat ternyata punya dalil dan hukumnya sendiri. Salah satu dalilnya yang membuat seisi dunia terperangah adalah memberi stempel pada percintaannya dengan Arqan sebagai kisah kasih cinta terlarang. Di antara mereka harus dibangun jurang yang dibuat menganga. Tak peduli ada benteng agama sebagai pelindung cinta keduanya. Jika sudah begitu, Sheira hanya berserah pada nasib. Ia makin tersudut saat ditakut-takuti dengan ancaman akan terus dilanda prahara jika tetap nekat meneruskan kisah cinta terlarang ini.

Pernah juga terpikirkan olehnya untuk melawan. Namun bekalnya belum cukup. Alasannya sederhana, sebab ia masih merasa "hijau". Jadilah Sheira kini seorang diri. Menyerah pada nasib menjadi satu-satunya pilihan terbaik buatnya.
"Arqan, berpisah jua kita akhirnya."

1 comment:

ez said...

Persekitaran adat yang membelenggu membuat banyak hati yang terluka. Apa kesudahan cerpen ini?