Monday, July 15, 2013

"(Lagi) Soal Amandemen; Kalut dan Bodohnya Kita?"

Dua tulisan di harian Kompas (Senin 8/7), masing-masing ditulis oleh Mahfud MD dan Suwidi Tono, menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Kedua tulisan tersebut memang mengetengahkan pembahasan yang berbeda; Mahfud MD mengupas pemberantasan korupsi yang berputar-putar tanpa arah sementara Tono mengangkat masalah kebangsaan yang menurutnya tergerus pragmatisme elit. Namun pada dasarnya kedua tulisan tersebut bermuara pada satu hal; bangsa ini sedang dalam masalah besar. Lebih parahnya lagi, demokrasi kita tengah dirusak oleh entitas parpol dan elit politik.

Terkait rumitnya masalah korupsi, tawaran solusi Mahfud MD untuk pemberantasan korupsi dengan mengamputasi generasi atau mengampuni koruptor adalah pilihan yang tidak mudah. Sebenarnya ada cara lain yang harus ditempuh sebelum mengambil tindakan sporadis semacam itu. Cara lain itu adalah mengidentifikasi fenomena episentrum korupsi yang banyak bersumber pada partai politik (DPR). Dari sekian kasus korupsi, hampir semuanya bertalian dengan politisi senayan (baca DPR). Ambil contoh kasus hambalang, DPID, cek pelawat BI, hingga yang terbaru kasus impor daging sapi. Tidak salah kemudian anggapan bahwa partai politik telah menyandera agenda pemberantasan korupsi dan bahkan lebih tragis lagi menjadi semacam parasit demokrasi.

Di lain sisi, Tono menyoroti bahwa parpol menjadi pihak yang paling bertanggungjawab akan persoalan pragmatisme elit penguasa. Demokrasi menjadi tergadaikan karena kepentingan dan kerakusan segelintir elit. Seperti yang Daniel J Boorstin katakan, seperti yang dikutip Tono, demokrasi akan tangguh bila seluruh elemen penting dalam masyarakat terpanggil untuk memperkuat sendi-sendinya, mengoreksi kelemahannya. Hajat bernegara terlalu berharga jika hanya diserahkan pada parpol (The Americans: The Democratic Experience, 1973).

Kedua tulisan tersebut mengarah pada parpol sebagai pihak yang bertanggungjawab menciptakan apa yang dialami bangsa ini sejak reformasi bergaung 1998 silam. Ketika telunjuk mengarah pada parpol, maka DPR sebagai wadah konstitusional parpol berdialektika juga layak dikritisi. Kritik pada DPR bukan terhadap kemampuannya mengelola kewenangan konstitusional melainkan kritik terlalu besarnya kewenangan konstitusional DPR tanpa pengawasan dan perimbangan kekuasaan sehingga melahirkan menjadi episentrum praktek-praktek koruptif berjamaah.Konstitusi yang seharusnya menjadi pagar kekuasaan justeru tidak berdaya karena dijadikan sebagai alat penguat kekuasaan berlebih yang dimonopoli parpol melalui DPR.

Konstitusi yang Membodohi atau Kita yang Bodoh?

Amandemen konstitusi hasil perjuangan reformasi patut dihargai sebagai sebuah proses politik yang demokratis. Namun harus pula diakui bahwa konstitusi tersebut bersifat legislative heavy. Di sebut demikian karena konstitusi terlalu memberikan porsi kewenangan berlebih kepada lembaga legislatif (DPR) tanpa dibarengi dengan mekanisme saling awas dan saling kontrol di antara cabang kekuasaan termasuk di internal parlemen sendiri (Selain DPR ada MPR dan DPD dalam struktur parlemen kita). Padahal amandemen konstitusi telah mereposisi MPR dan bahkan melahirkan DPD yang dalam praktek di negara lain lazim diberdayakan untuk mengimbangi kekuasaan DPR.

Ketika frustasi hampir melanda bangsa karena semakin maraknya korupsi, sementara konstitusi berpotensi memelihara fenomena tersebut maka tidak ada pilihan lain untuk tidak kembali membongkar pasal-pasal dalam konstitusi yang pada akhirnya dapat mengakomodir terwujudnya mekanisme check and balances di internal lembaga legislatif. Namun apa hendak dikata, amandemen lanjutan atas konstitusi seperti mustahil dilakukan dengan alasan belum menjadi kebutuhan politik kekinian.

Kita tentu tidak ingin konstitusi membodohi dan membuat jurang yang membuat kita terjerembag dalam nista masalah yang tak berujung. Konstitusi jelas buatan manusia dan buatan manusia bukanlah kitab suci yang haram untuk diutak-atik dan diubah. Konstitusi yang ideal justeru konstitusi yang mampu mengiringi dinamika politik dan kekuasaan serta kebutuhan kekinian masyarakat.

Oleh sebab itu, perdebatan amandemen UUD 1945 jangan lagi dipersempit sekadar perebutan kewenangan DPD dan DPR, melainkan harus dikaitkan dengan persoalan yang lebih besar, yakni konstitusi yang terlalu memberi porsi kekuasaan yang amat besar kepada DPR sehingga berbuntut membludaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi di DPR. Konstitusi kita harus berubah menjadi konstitusi yang memberi porsi seimbang pada masing-masing cabang kekuasaan. DPR harus diimbangi oleh partner seimbang di parlemen. Begitu pula kekuasaan di yudikatif dan eksekutif. Semuanya harus dibuat saling imbang, saling awas dan saling kontrol.

Suara amandemen lanjutan tetap senyap tak digubris. Agenda pembenahan kehidupan ketatanegaraan berujung stagnan. Perdebatan amandemen berkontemplasi menjadi debat kusir yang tak tahu bermuara kemana dan untuk apa.
 
Apa kita mau menjadi seperti bangsa bodoh yang tak tahu harus memulai apa dan berbuat apa ketika dirundung masalah. Jangan-jangan kita bukan lagi bodoh tapi juga kalut ketika berhadapan dengan sekian banyak permasalahan yang melilit bangsa. Kebodohan itu kemudian berujung pada kekalutan, berputar-putar tanpa arah. Atau jangan-jangan kita dibuat kalut dan bodoh oleh alam pikir kita yang sudah sesat dan menyesatkan? 

Wallahua'lam bisshowab.

No comments: