Saturday, July 6, 2013

Timbang-Timbang Soal Remediasi (Bag. 2 dari 2 Tulisan)

Remediasi dan Gagasan Intelektual Gramsci 

Antonio Gramsci, seorang filosuf Italia, mengatakan bahwa intelektual bukan dicirikan oleh aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang atau individu, melainkan oleh fungsi yang mereka jalankan. Gramsci menulis “oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual”. (Roger Simon; 1999, 140) Catatan dan ide intelektual Garmsci itu bisa dilihat dalam Prison Notebooks yang dia tulis semasa di penjara antara tahun 1929 dan tahun 1935 setelah divonis bersalah oleh pemerintahan fasis Mussolini.

Salah satu gagasan Gramsci adalah diskursus yang dikembangkannya mengenai konsep intelektual. Gramsci membagi intelektual ke dalam dua kategori: tradisional dan organik. Menurutnya, intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan perselingkuhan dan aliansi dengan kelompok penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial. Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya muncul secara alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat, bukan dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya. Atau, dalam bahasa Gramsci, muncul dari kelompok pekerja (the working class). Karena itu, mereka cenderung revolusioner dan tidak konservatif. (Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci; 1971)

Inti dari pemikiran Gramsci soal intelektual adalah intelektual fungsional. Intelektual fungsional berarti bahwa kaum intelektual harus mampu menjalankan fungsi sebagai organisator dalam segala aspek kehidupan masyaraat. Artinya, kualitas intelektualitas tidak diukur dari kapasitas prestasi yang ditentukan melalui nilai-nilai akademik semata namun lebih dari itu kualitas intelektual harus diukur dari sejauh mana kaum intelektual mampu memfungsikan diri di lingkungannya, hidup dan berkembang bersama masyarakat serta berkontribusi nyata.

Terdapat korelasi tentang gagasan intelektual fungsional Gramsci dengan pentingnya memfasilitasi intelektual muda (baca; mahasiswa) agar dapat pula menjadi insan yang kontributif. Dengan begitu mahasiswa tidak hanya berjibaku dengan kehadiran di bangku kuliah dan mengejar perbaikan nilai akademik lewat Remediasi, tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu memahami virtues of life, mengembangkan gagasan dan jiwa kritisnya. Virtues yang berarti kemuliaan, kewibawaan, kehormatan dan keutamaan akan sulit tercapai bila mahasiswa hanya didoktrin untuk mendongkrak nilai akademik lewat remediasi tanpa diberikan peluang dialektis untuk tumbuh dan berkembang menjalankan fungsi intelektualnya.

Padahal sebagai aktor dalam social development, mahasiswa harus berperan sebagai tenaga-tenaga terdidik yang dapat menyalurkan keterampilan dan keilmuannya untuk masyarakat terhadap isu-isu kemasyarakatan, misalnya dengan memberikan pelatihan, penyuluhan, advokasi, program pendampingan masyarakat, atau kuliah kerja nyata (KKN).
Oleh karenanya jika remediasi hanya dibatasi pemaknaannya sebatas perbaikan nilai akademik melalui metode ujian ulangan semata, sulit untuk mengembangkan peran intelektual yang fungsional. Terlebih jika untuk mengikuti ujian remediasi mahasiswa disyaratkan untuk memenuhi daftar hadir maksimal di bangku kuliah sehingga tak cukup waktu berdialektika di kehidupan sosial yang memiliki titik singgung erat dengan kehidupan akademik.

Selain itu, seandainya prestasi hanya dimaknai sebagai deretan angka-angka dan nilai akademik berupa Indeks Prestasi Kumulatif bisa jadi remediasi adala solusi. Namun, prestasi dalam dunia akademik seharusnya tidak boleh berhenti pada bagus atau tidaknya Indeks Prestasi Kumulatif. Sistem Remediasi yang demikian hanya akan mencetak lulusan dengan kualitas intelektual seadanya tanpa memiliki fungsi intelektual.
Dari kacamata pendidik, remediasi setidaknya memiliki beberapa impact. jika Remediasi hanya dimaknai sebagai ujian susulan dalam rangka memperbaiki nilai maka kebijakan remediasi yang demikian hanya akan mengalami cacat yang makin mengenaskan terlebih karena pendidik/dosen tak diberi kesempatan menggugah minat, merangsang keasyikan menalar bagi peserta didik lebih lanjut. Mahasiswa tidak terstimulus untuk melakukan sesuatu untuk memahami proses pembelajaran dan menggapai cita-cita yang diinginkan.

Benarlah kiranya barangkali yang pernah diutarakan oleh Prof. Van Bemmelen (The Liang Gie; 1985, 9);
“Di kota Leiden pada tiap permualaan tahun pelajaran baru muncul muka-muka baru, yang segar, penuh kesungguhan, keberanian dan kepastian, tapi pada akhir tahun antaranya kurang lebih 40% karena satu atau lain alasan, jatuh dari cita-citanya.”

Melalui remediasi yang kebijakannya hanya menitikberatkan pada pencapaian nilai akademik dan peserta didik diwajibkan membayar sejumlah kredit SKS yang diikutinya akan mendatangkan asmumsi bahwa institusi pendidikan tinggi yang seharusnya mencetak intelektual-intelektual hati nurani bangsa justeru hanya mampu menjadi pengabdi kapitalisme. Dalam kondisi yang demikian, akan sangat sulit  mengharapkan lahirnya intelektual dengan kesadaran transformatif dari pendidikan tinggi yang demikian kapitalistik.

Belum lagi mengingat Tridarma Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan jenjang terakhir dari hirarki pendidikan formal. Tiga misi yang diemban yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian harus direalisasikan secara paralel. Tapi, lebih dari segalanya, yang menggetarkan atas tiga misi perguruan tinggi ialah pengabdian, pengabidan, pengabdian. Pendidikan dan penilitian tak berdampak apa-apa bila pengabdian diabaikan dan mahasiswa hanya berjibaku menjadi generasi terdidik dan peneliti.
 
Akhirnya, remediasi yang hanya dimaknai sebagai ujian susulan sekedar memperbaiki nilai akademik akan mengalami cacat yang makin mengenaskan sebab pendidik/dosen tak diberi kesempatan menggugah minat, merangsang keasyikan menalar bagi peserta didik. Peserta didik pun tidak memiliki kesempatan untuk memperkaya dan menguasai materi ilmu yang lebih banyak dan mendalam. Sekian. Wallahua'lambisshowab.

No comments: