Saturday, July 6, 2013

Timbang-Timbang Soal Ujian Remediasi Bag. 1


Akhir tahun 2011 lalu civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) mendapat kado istimewa dari Rekrotiat. Ya, tepat pertengahan Desember 2011 lalu Rektor UII mengeluarkan Peraturan Rektor No. 32/Rek/PR/20/DA/XII/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Ujian Remediasi. Intinya Remediasi dimaksudkan untuk peningkatan kualitas lulusan UII yang salah satu indikasinya ketepatan masa studi dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Setelah dihapuskannya sistem Semester Pendek, Remediasi kini menjadi semacam formula baru di lingkungan UII yang dianggap memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memperbaiki prestasi akademiknya. 

Berkaca pada rumusan peraturan Rektor tersebut dapat dipahami beberapa prinsip pelaksanaan Remediasi. Pertama, Remediasi murni ujian (susulan) yang dilaksanakan dua kali dalam satu tahun. Ujian Remediasi tersebut diselenggarakan tiap setelah semester berakhir. Sederhananya, ujian Remediasi merupakan ujian ulangan yang diselenggarakan pada semester yang sama. Kedua, ujian Remediasi pada dasarnya bersifat opsional dan fakultatif. Artinya, ujian Remediasi merupakan peruntukan bagi mahasiswa yang merasa perlu untuk memperbaiki nilai mata kuliah tertentu pada setiap semester yang telah diikuti. Ketiga,  Ujian Remediasi hanya untuk mengulang ujian mata kuliah yang ditempuh pada semester bersangkutan dengan persyaratan antara lain; Ujian Remediasi itu dibuka hanya untuk mata kuliah yang ditawarkan fakultas, diselenggarakan di kelas (tidak mandiri) dan mahasiswa disyaratkan kehadiran minimal 75% pada mata kuliah bersangkutan pada semester reguler. 

Tulisan berikut akan menganalisa Ujian Remediasi sebagai sebuah sistem dan kebijakan. Akan dikupas pula aspek positif dan kelemahan sistem Remediasi dengan mengaitkannya pada teori intelektual Gramsci. Gramsci sendiri merupakan pemikir besar khususnya dalam bidang kajian politik dan filsafat pendidikan. Gramsci memang lebih populer sebagai pemikir bidang politik, namum gagasannya soal intelektual dan upaya membangun generasi berkualitas layak dijadikan bahan renungan. Pada bagian akhir tulisan dikemukakan beberapa kesimpulan dan rekomendasi soal langkah terbaik untuk memparalelkan kebijakan Remediasi dengan upaya memantapkan kualitas intelektual mahasiswa.
 
 Baik dan Buruk Ujian Remediasi


Sebagai sebuah sistem, idealnya remediasi memiliki beberapa fungsi, yaitu: pertama, fungsi korektif yang memungkinkan terjadinya perbaikan hasil belajar dan perbaikan segi-segi kepribadian peserta didik. Kedua, fungsi pemahaman yang memungkinkan peserta didik memahami kemampuan dan kelemahannya serta memungkinkan dosen/pendidik menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kondisi peserta didik. Ketiga, fungsi penyesuaian yang memungkinkan peserta didik menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan memungkinkan dosen menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kemampuannya. Keempat, fungsi pengayaan yang memungkinkan peserta didik menguasai materi lebih banyak dan mendalam serta memungkinkan pendidik mengembangkan berbagai metode yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. Kelima, fungsi akseleratif yang memungkinkan peserta didik mempercepat proses belajarnya dalam menguasai materi yang disajikan. Keenam, fungsi terapeutik yang memungkinkan terjadinya perbaikan segi-segi kepribadian yang menunjang keberhasilan belajar.  

Berkaca pada fungsi remediasi tersebut, yang dikedepankan sesungguhnya adalah hasil akhir dengan memperhatikan aspek-aspek kognitif dan non-kognitif yang tidak an sich memusatkan pada penyelenggaraan ujian (susulan) namun dibarengi dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya evaluatif, strategis dan interaktif demi penguasaan ilmu dan mengasah kemampuan intelektual peserta didik.



Boleh dikatakan aspek positif dari sistem ujian Remediasi adalah terbukanya peluang untuk mengakselerasi peserta didik untuk meraih nilai maksimal pada setiap bidang atau mata kuliah yang ditempuh. Dalam pemahaman yang sederhana, orientasinya adalah nilai bukan proses memperoleh nilai akademik tersebut.  Jika mengacu pada urgensi proses pencapaian nilai dan keilmuan, maka bisa dikatakan ujian remediasi bukanlah hal yang bagus. Ujian remediasi hanya akan memunculkan disorientasi pada proses pemahaman intelektual akademis. Apalagi bila dikaitkan dengan konsep yang pernah dikemukakan seorang sejarawan Perancis, Pierre De Coubertin, bahwa yang terpenting dalam hidup itu adalah bagaimana proses pencapaiannya (The most important thing in life is not the triumph but the struggle).  

Pada level perguruan tinggi, kebijakan remedial atau remediasi pada umumnya diterapkan oleh pihak kampus berdasar kebijakan masing-masing. Tidak semua perguruan tinggi menerapkan sistem remediasi. Di kampsu yang tidak menerapkan kebijakan Remidiasi dan semester pendek, misalnya, jika ada mahasiswa yang ingin memperbaiki nilai akademiknya tidak ada kesempatan memperbaiki nilai kecuali dengan mengulang perkuliahan pada semester berikutnya. Meski dampak dari sistem ini akan membuat waktu tempuh studi semakin panjang dan bertambah. 

Ada pula kampus yang menerapkan pola Remediasi kombinasi sistem Remediasi dengan menambahkan tatap muka dan praktikum serta tugas-tugas menulis makalah sehingga remediasi tidak hanya penyelenggaraan ujian susulan dimana pesertanya diwajibkan membayar jumlah SKS sesuai dengan bobot mata kuliah yang diujikan pada Remediasi. Pola seperti ini lebih mendekati pola yang ideal dimana fungsi remediasi sebagai fungsi pengayaan yang memungkinkan peserta didik menguasai materi lebih banyak dan mendalam serta memungkinkan pendidik mengembangkan berbagai metode yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. Dengan begitu, konsepnya bukan pada apa yang diraih dari remediasi, melainkan bagaimana peserta didik berjuang dan mendapatkan materi keilmuan yang cukup agar proses remediasi bisa mengembalikan mindset berorientasi pada proses pembelajaran. Alhasil, implikasi dari remediasi tak sekedar perbaikan nilai, akan tetapi dapat mempertajam daya analisis dan pemahaman materi yang ditempuh. Bukankah pendidik yang ideal itu adalah pendidik yang mampu menggugah minat dan merangsang keasyikan menalar ilmu pengetahuan peserta didik ketimbang sekedar memberi nilai dan memastikan satu per satu peserta didik berada di kelas ketika kuliah diberikan? 

Sejatinya, ada beberapa pendekatan dalam kebijakan remediasi yang bisa dikembangkan di perguruan tinggi ke dalam berbagai strategi, antara lain: Pertaman, Pendekatan kuratif yakni pendekatan yang dilakukan setelah diketahui adanya beberapa peserta didik yang gagal mencapai tujuan pembelajaran.  Strategi yang dapat dikembangkan dalam hal ini, adalah strategi pengulangan, pengayaan dan pengukuhan serta strategi percepatan.  

Kedua, pendekatan preventif yaitu pendekatan yang ditujukan kepada peserta didik yang pada awal kegiatan belajar-mengajar telah diduga akan mengalami kesulitan belajar. Strategi pengajaran yang dapat dilakukan, yaitu kelompok homogen, individual, kelas khusus. Ketiga, pendekatan yang bersifat pengembangan, pendekatan yang didasarkan pada pemikiran bahwa kesulitan peserta didik harus diketahui tenaga edukatif sedini mungkin agar dapat diberikan bantuan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

Yogyakarta, jelang Ramadhan.

No comments: