Friday, March 23, 2007

"Di Tepi Sungai Yarra Aku Menangis"

Kata teman saya Melbourne itu adalah kota harapan yang berkembang menjadi penderitaan. Betapa tidak, teman saya itu menemukan nilai kemanusiaannya di sini. Di samping itu ia juga memelihara sakit yang dibawanya dari kampung halamannya, di pesisir Sumatera. Teman saya itu sudah lama gundah akibat kepongahan nilai adat dan tradisi. Ia mencintai Baya, gadis pujaan hatinya. Namun sayang, dinding adat begitu kokoh melarang mereka menyemai cinta dan kasih sayang dalam satu persukuan. Perkawinan satu suku adalah larangan yang amat tabu untuk dilanggar. Tapi tetap saja ia gigih mempertahankan hati yang sudah tertambat.
"Cinta Terlarang?" "Penghianatan kaum muda atas nama Cinta?" "Kisah kasih anak durhaka?" Sulit memang memberi nama hubungan mereka. Saya pernah dimintai untuk menamai hubungan itu. Tapi saya menolak. Ketimbang membuat teman saya itu makin sedih dan larut dalam kegundahan, saya lebih memilih diam. Bisu tak bersuara. Berpuluh-puluh purnama sudah teman saya itu meninggalkan kampung halaman demi cintanya buat Baya, sang terkasih. Ia memilih pergi meninggalkan kepongahan adat dan tradisi. Tetua adat itu laksana badai dalam hubungannya. Untuk itulah ia diam, pergi demi menyiapkan bekal perlawanan. Sebuah pilihan yang sulit memang, tapi itu harus ditempuh.

"Aku mencintaimu."

"Tapi kau harus pergi."

"Kenapa aku?"

"Aku tidak bisa meninggalkan emak."

"Tapi aku juga tak bisa meninggalkanmu."

"Pergilah untuk sementara, hingga aturan adat ini terkikis bersama waktu."

"Kamu yakin?"

"Kenapa tidak?"

"Tapi, aku mencintaimu."

"Aku tahu. Tapi kau tetap harus pergi."

"Kau sudah rela?"

"Kalau disuruh memilih aku lebih suka kau di sini. Tapi, kau harus pergi mengumpulkan keberanian untuk melawan."

"Baiklah. Aku pergi dan untuk kembali lagi."

Percakapan itulah yang mengantarkan teman saya itu ke Melbourne. Baginya melawan bukan berarti harus hadap berhadapan. Jika diam dan pergi harus terpilih sebagai alasan kenapa tidak, katanya. Kalau diibaratkan pelarian politik, teman saya itu seperti tahanan politik yang memilih pergi ke luar negeri demi menunggu rezim yang berkuasa turun tahta. Nanti, setelah rezim berganti, barulah pulang merayakan kemenangan. Dengan jujur pula teman saya itu tidak menampik bila pilihan itu terkesan pengecut. Tapi begitulah hidup. Ia cuma soal bagaimana menentukan pilihan.


Sudah lima tahun ia tinggal di Melbourne. Teman saya itu menghabiskan hari, minggu, bulan dan tahun demi mengumpulkan amunisi. Setelah semuanya siap, barulah ia akan pulang, melawan kesewang-wenangan adat atas cinta dan kasih sayang anak manusia.
Suatu ketika saya berjumpa dengannya di Mumba Festival. Ia terlihat kurus sekali.


"Sudah berapa banyak amunisi terkumpul?"


"Tak tahulah saya."


"Lho, kenapa?"


"Semalam saya bicara dari hati ke hati dengan Baya."


"Terus?"


"Katanya ia sudah capek menunggu. Lima tahun memang bukan waktu yang singkat. Dan ia pantas untuk bosan."


"Kamu yakin ia jujur dengan sikapnya itu?"


"Sepertinya, ya."


"Lalu, apa ia sudah ada yang melamar?"


"Sepertinya, ya."


"Apa ia sudah menerima pinangan itu?"


"Saya tidak tahu. Tapi saya tahu ia sudah lama ditaksir oleh seorang anak kepala suku."


"Satu suku juga denganmu?"


"Tentu saja tidak."


"Terus, apa kamu juga sudah capek melawan?"


"Tentu saja tidak."


"Kamu tetap menyiapkan bekal buat perlawanan?"


"Sepertinya, ya."


"Lalu buat siapa? Bukankah Baya sudah pindah ke lain hati?"


Teman saya itu diam dengan pertanyaan saya barusan. Ia hanya tertunduk kemudian mendongakkan kepala.


"Aku melawan bukan buat Baya. Perlawananku ini aku persembahkan buat mereka yang cintanya tertawan akibat adat dan tradisi."


Saya pukul pelan pundaknya. Kemudian kami berpelukan sambil berbisik di telinganya.


"Daftarkan aku dalam barisan pasukanmu untuk bertempur melawan tetua adat dan tradisi itu, kawan."


“Welcome on board, mate”


Saya dan teman saya itu sepakat dan berkesimpulan bahwa sudah saatnya tetua adat itu disadarkan. Seperti penderita Autistik, tetua adat itu punya mata tapi tak melihat, punya telinga tapi tak mendengar.


Seperti juga teman saya itu, saya sebenarnya berjiwa pemberontak. Betapa tidak, saya lahir dan dibesarkan di luar Jawa, tempat hampir seluruh sejarah pemberontakan terjadi. Nama daerah saya dilahirkan mungkin punya hubungan dengan semangat pemberontakan dalam diri saya. Pulang Pisau. Sebuah kabupaten di Kalimantan Tengah yang tidak kesohor itu. Teman saya itu pernah bertanya kenapa Pulang Pisau menjadi nama kabupaten saya. Saya menggelengkan kepala. Tidak tahu.



“Sudah berapa lama kau merantau?”


“Hampir sama denganmu, enam tahun.”


“Suatu hari nanti aku ingin ke Pulang Pisau, daerahmu itu.”


“Dengan senang hati aku akan menemanimu.”


“Hm, Pulang Pisau, seperti inspirasi buatku.”


“Maksudmu?”


“Aku akan pulang memulai pemberontakan ini. Pulang dengan pisau.”


“Kau pasti bergurau.”


“Pisauku bukan sungguhan. Semangat pemberontakan itulah yang kumaksud.”


Sebulan berikutnya saya berjumpa lagi dengannya. Tapi saya membawa karangan bunga. Bunga kematian. Teman saya itu melanggar janjinya. Saya sedih. Teman saya itu tak pernah pulang. Ia malah memilih pulang ke kampung halamannya yang terakhir. Suatu senja ia ditemukan sudah tak bernyawa, tenggelam di sungai Yarra. Di sakunya ditemukan secarik kertas bertuliskan sebuah puisi. Demi menghormati teman saya itu saya tidak ingin menuliskan puisinya itu di sini. Cukup judulnya saja, saya kira itu sudah cukup. Puisi yang amat indah menurut saya. "Di Tepi Sungai Yarra Aku Menangis".



PS: Thanks to Mel, Arny dan mbak Win for your lovely friendship. Tak lupa buat udha Hendri yang lagi jenuh dengan Melbourne yang katanya kaku. Cerpen ini juga buat kalian dan mereka yang setuju kalau hidup itu cuma soal kapan tidur dan bangun lagi.

No comments: