Friday, March 23, 2007

Pagi dan Seribu Senyum Buat Melbourne


Pagi dan Seribu Senyum Buat Melbourne
Source: Tabloid Buset April Edition 2007 (Melbourne)



Apakah kau belum mendengar perihal orang gila yang menyalakan lentera di pagi yang cemerlang, menyeruak ke pasar, dan berteriak tanpa henti, “Ku cari Tuhan! Ku cari Tuhan!”?
F. Nietzsche, Die Froliche Wissenschaft

*****************************
Siang baru saja menjelang. Runsyam baru saja beranjak dari aktifitas rohani menuju duniawi sambil menunggang angin dingin musim panas benua Australia. Tinggal di kota seunik Melbourne memaksanya untuk juga menikmati ketidakakuran antara panas dan dingin. Di musim panas seperti ini ia tak bisa pongah untuk segera mengemasi koleksi pakaian winternya di sudut jauh. Runsyam meletakkannya di tempat biasa sebab suatu waktu di musim panas seperti ini, justeru alam menuntut setiap diri untuk dibalut pakaian hangat. Aneh, memang. Namun itulah Melbourne, kota yang sudah ia anggap sebagai kota mimpi.

Begitulah, pagi tadi ia sudah harus bangkit menjemput matahari. Runsyam sempat terlamun. Tanpa sengaja, sebuah perasaan asing hadir, begitu menyentuh. Ia berubah jadi begitu melankolis. Jika sudah begini, Runsyam biasanya menulis sesuatu buat ayahnya. Di samping ia tidak ingin kehilangan momen berharga ini, Runsyam juga punya satu maksud hati. Sederhana saja, cuma memaksa ayahnya untuk tahu diri. Alasannya hanya agar anggapan ayahnya bahwa ia sama sekali tidak romantis adalah keliru besar.

"Selamat Pagi, ayah."

Ku hormati engkau pagi ini sekali lagi dengan memanggilmu "ayah". Jika menurutmu itu belum cukup, aku akan memuaskanmu dengan kembali menuliskan panggilan buatmu diawali huruf besar. Mulai dari sekarang, dan tidak tahu hingga kapan akan bertahan seperti itu. Ya, A y a h. Sebuah kata tak berdengung dan sudah lama tak ku lafazkan. Aku bahkan nyaris lupa bagaimana rupamu sekarang. Jangan bilang dulu aku ini anak durhaka, tapi salahkan kenapa ribuan tahun lalu benua ini memisahkan diri dari elok paras negeri kita. Konon daratan negeri kita bertaut dengan bumi Australia. Buktinya ada banyak kemiripan di dalamnya terutama soal flora dan faunanya.

Pasti kau sudah bangun, aku tahu engkau adalah satu dari sekian juta umat manusia pecinta pagi. Pesanmu dulu bahwa menghabiskan pagi dengan secangkir kopi sama halnya dengan keinginan menggenggam dunia. Jika dulu aku tak begitu saja percaya celotehanmu, maka saat inilah aku sadari pesanmu itu ada benarnya juga. Melihat pagi adalah bentuk lain melihat hidup dari ruang hampa yang disediakan Tuhan.

Pagi ini di genggamanku ada kota yang dikemas dalam setumpuk surat kabar mingguan. Namanya City Weekly. Dan salah satu misiku pagiku ini adalah membuat penduduk kota menikmati suguhan baris demi baris berita kota dan secangkir kopi pagi ini. Demi menyukseskan misi mulia ini, pagi-pagi sekali anakmu telah berdiri manis di pojok bisu kota, pada pertemuan dua jalan besar.
Ayah, mungkin engkau tidak percaya. Pagi ini aku sudah tersenyum sebanyak seribu tujuh ratus dua puluh enam kali. Aku sampai capek dibuatnya. Mungkin kau heran kenapa aku bisa tersenyum sebanyak itu dan mampu pula menghitung jumlahnya.

Begini ayah, sebenarnya aku malas mem-filosofi-kan pagiku ini. Namun jiwa melankolisku berontak saat ku coba menepis keinginan mengabaikan pagi. Membagi-bagikan terbitan mingguan cuma-cuma inilah yang membuat aku tersenyum. Penghuni kota yang sering kau sebut bule itu ternyata lebih ramah ketimbang kita orang Timur. Bagaimana tidak, aku dihujani dengan kata tulus "thanks" plus satu senyuman segar saat ku ulurkan surat-surat kabar itu pada mereka. Senyuman-senyuman itulah yang memaksaku untuk juga ikut tersenyum. Walhasil, selain mendapat bayaran dari pekerjaan mulia ini, aku juga bisa ikut senam mulut. Tersenyum sepanjang pagi. Kau kan tahu manis atau tidak manisnya raut muka amat bergantun bagaimana kau menutup uara iblis dalam diri. Jangan pernah buka kesempatan untuk iblis-iblis itu atau kau tak akan pernah tersenyum. Orang-orang akan menyebutmu si Tuan Pencemberut. Kau boleh tak percaya, tapi coba kau perhatikan dua lambang ini. :) dan :( Jika kau mempersilahkanku memfilosofikan kode ini ini, maka jawabanku kira-kira begini. Dua titik yang diberi tanda kurung tutup adalah perlambang senyuman. Untuk itulah tadi aku ingatkan agar saat kau melihat pagi maka buka dua matamu dan tutup sisi iblismu. Perihal makna lambang kedua kau pasti tahu sendiri, kan?

Ayah, sepagi ini anakmu sudah ditempa alam, dibekali banyak pelajaran. Aku belajar dan semakin teryakinkan bahwa tersenyum di waktu pagi adalah bentuk lain dari ungkapan rasa syukur. Lihat saja bule-bule itu. Mereka bersyukur ku bagikan surat kabar mingguan. Sepertinya mereka menikmati keberadaanku hingga kemudian menghadiahiku ucapan terima kasih dan sejumput senyum manis. Tua dan muda. Si kaya dan si miskin. Semuanya sama.
Jujur harus ku akui jika tidak semua senyumku itu tulus. Sepersekian senyumku itu dibumbui oleh rasa kantuk, sinisme dan kemunafikan. Sewajarnya aku berkata demikian, sebab semalam anakmu ini menunggang fajar menyelesaikan sekian ribu kata, buah tangan dari tempatku kuliah. Meskipun senyumanku ada yang berkesan dipaksakan, toh mereka tetap tulus memberiku senyuman. Itu ku tahu dari mimik muka dan gerak bahasa tubuh. Tulus tanpa beban.


Ayah yang disayang Tuhan. Selain pagi dan senyuman, ada satu hal lagi yang harus ku ceritakan pagi ini. Yakni kemurahan mengucapkan terima kasih. Kau 'kan tahu bawha pekerjaan membagi-bagikan koran gratis adalah satu dari sekian pekerjaan si miskin. Hina dina dan tanpa kehormatan. Oleh karenanya, pekerjanya layak untuk direndahkan dan didekonstrukis nilai kemanusiaannya. Semua tontonan menjijikkan itu sudah aku lihat dulu saat aku besar di Jakarta. Pedagang asongan, penjaja koran adalah pekerjaan orang pinggiran dan mereka juga harus dipinggirkan dengan hinaan. Tapi, tahukah kau bahwa itu tidak terjadi di sini. Hal bodoh itu tidak aku lihat di bumi di mana peran Tuhan sering mereka pinggirkan. Agama bukan isu penting. Yang terpenting adalah bagaimana menikmati hidup dengan sebebas-bebasnya seperti burung di bawah awan. Aku tidak tahu apakah ada hubungan ungkapan "terima kasih" dengan racikan ketulusan berbanding lurus dengan beragama atau tidaknya seseorang. Jika itu benar, maka kesimpulan itu tidak aku lihat di sini. Mereka begitu menghormati makna pemberian. Sebab dibalik ucapan terima kasih terselip penyerahan diri bahwa kita bergantung dengan keberadaan setiap jenis manusia. Kaya, miskin papa, tua dan muda.

Tanpa kusadari, aku telah menghitung senyumanku pagi ini. Hal konyol yang baru pertama kali ini aku lakukan. Aku puas tersenyum, disenyumi dan diberi ucapan terima kasih. Sebelum koran-koran itu habis, aku sudah berubah wujud jadi malaikat. Bagaimana tidak, sepagi in aku sudah diselimuti ketulusan dan keikhlasan untuk bersyukur. Aku laksana malaikat yang tinggal menunggu sayap untuk terbang menebar damai pada setiap pojok kota.
Selamat melihat matahari, Ayah.

Runysam Alkampari

Sebuah panggilan telephone masuk memaksa Runsyam bangkit dan menyudahi surat ini. Untuk kesekian kalinya ia sungguh merasa sempurna menjadi manusia sekaligus anak dari seorang laki-laki.


************
Melbourne, pagi-pagi sekali di bulan Februari.

Di salah satu sudut ruangan yang tidak jauh dari Melbourne Law School

The University of Melbourne


No comments: